Selasa, 07 Juni 2016

tata cara eksekusi di PTUN



“EKSEKUSI/PELAKSANAAN PUTUSAN DI PTUN”
disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Dosen pengampu :
Novi Dewi Cahyati, S.Si., S.H., M.H.
Disusun oleh :
Khabibul Wakhit      12380087
Husain Muntaha       12380057
Khakimul Amin        12380092
Hanny Sarah                         13380005
Muhammad kidlir     13380008
JURUSAN MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015-2016
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia memiliki beberapa jenis peradilan yang mempunyai kewenangan yang berbeda, diantaranya adalah Peradilan Negeri, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Disini peneliti akan membahas lebih jauh tentang Peradilan Tata Usaha negara dalam Pelaksanaan Putusan atau Eksekusi di Peradilan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan suatu putusan Pengadilan dalam kehidupan bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum.
Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Dalam hal memutuskan putusan, Hakim Peradilan sudah mengetahui duduk perkara yang diselesaikan.
Eksekusi putusan Pengadilan adalah pelaksanaan putusan Pengadilan oleh atau dengan bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi adalah  Pembatalan Surat Keputusan yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif, dan eksekusi putusan untuk membayar  sejumlah uang (dwangsom).  






BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN
Secara etimologis, eksekusi berasal dari bahasa Belanda yaitu executie, yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi atau pelaksanaan putusan adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara (Irvan Mawardi, 2014:142).
Pengertian eksekusi menurut R. Subekti adalah Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.[1]
 Peradilan tata Usaha negara adalah eksekusi administrasi, yaitu sangat tergantung kepada amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada hakikatnya putusan pengadilan yang dapat dieksekusi hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht. Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht tersebut mengandung hubungan hukum yang tetap (res judicata) antara kedua belah pihak yang bersengketa. Konsekuensi dari adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah mengharuskan adanya pelaksanaan proses eksekusi sebagai wujud dari adanya upaya penegakan hukum.

Dengan demikian, yang dapat dieksekusi hanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap saja, yaitu jika:[2]
1.        Penggugat dan Tergugat telah menyatakan menerima terhadap putusan Pengadilan, padahal Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding.
2.        Sampai lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan, Penggugat dan Tergugat tidak mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.   
Sebagai contoh, Putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan Undang-Undang, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.

Tiga macam putusan menurut sifatnya, yaitu :
1.    Putusan declaratoir (menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum);
2.    Putusan constitutif (meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru);
3.    Putusan Condemnatoir (berisi penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap pihak);
Hanya jenis putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan, yang harus dilaksanakan.


Putusan yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa dimulai oleh Peradilan Tata Usaha Negara dalam hal ini dapat menjatukan putusan yang berisi :
1.        Gugatan Ditolak (Bersep Wordt Verwarpen/Ofoong ongrond)
Apabila isi putusan Pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugatan penggugat berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2.        Gugatan Dikabulkan (Gegrond/ of Toegewezen).
Suatu gugatan  dikabulkan, adakalanya pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya (dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3).
 Apabila gugatan dikabulkan, maka hakim Pengadilan dapat menetapkan kewajiban kepada Badan atau Pejabat TUN selaku tergugat berupa (Pasal 97 ayat (9) :
1.    Membebankan kewajiban kepada Badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tata Usaha Negara itu agar :
a)    Mencabut keputusan Tata Usaha Negara;
b)    Disamping mencanut Keputusan tersebut juga berkewajiban untuk menerbitkan Keputusan baru;
c)    Menerbitkan Keputusan Badan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3; yaitu karena dalam batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang atau setelah lewat jangka waktu empat bulan. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh penggugat.
2.    Di samping dibebani kewajiban tersebut di atas, hakim masih dapat membebani kewajiban lain berupa pembebanan ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan sengketa kepegawaian), kompensasi dan  pemberian rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
 
3.        Gugatan Tidak Diterima (Niet ontvankelijk)
Suatu gugatan oleh hakim akan dinyatakan tidak diterima karena alasan-alasan sebagaimana dimuat dalam pasal 2, pasal 49 dan atau pasal 56.
 Apabila gugatan tidak dapat diterima oleh hakim, maka gugatan setelah diperbaiki dapat diajukan kembali dalam bentuk gugatan baru. Timbulnya Putusan Hakim yang demikian antara lain dapat disebabkan oleh karena Penggugat setelah diberi waktu 30 hari oleh hakim untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapinya dengan fakta-fakta yang diperlukan, tetapi penggugat tidak atau belum juga memperbaikinya sehingga Hakim menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard) sebagaimana dimuat dalam pasal 63 ayat (2) dan (3).
Dalam hal ini hakim diharuskan aktif untuk memeriksa, memperbaiki, dan memerintahkan untuk melengkapi fakta-fakta yang diperlukan. Apabila hal ini tidak dilakukan oleh Hakim, maka terhadap tindakan/putusannya yang menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima, bukanlah semata-mata kesalahan penggugat itu sendiri. 
4.        Gugatan Gugur.
Putusan pengadilan yang menyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasa hukumnya tidak hadir dalam persidangan pada hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan– yaitu pada hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan mereka telah dipanggil secara patut,[3] atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
Ada dua jenis eksekusi menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1955 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
1.    Eksekusi Sempurna
Eksekusi sempurna adalah eksekusi sebagaimana diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang pada pokoknya sebagai berikut :
a.    14 Hari kerja setelah putusan, harus disampaikan kepada para pihak;
b.    Setelah 60 hari kerja, tergugat tidak melaksanakan isi putusan maka sengketa objek tidak mempunyai kekutan hukum lagi;
c.    Dalam 90 hari kerja terbukti tergugat tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, maka penggugat memohon kepada ketua PTUN agar perintahkan melaksanakan putusan pengadilan;
d.   Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa : pembayaran uang paksa, sanksi adiministrasi, dan pengumuman melalui media massa cetak setempat.
e.    Disamping hal tersebut di atas, Ketua PTUN harus mengajukan masalah tersebut kepada presiden agar memerintahkan pejabat/tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan dan kepada DPR dalam rangka pengawasan.
2.        Eksekusi Tidak Sempuna
Eksekusi tidak sempurna adalah eksekusi terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang sulit dilaksanakan karena sedemikian rupa telah terdapat keadaan berubah, maka solusinya diatur pada Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebagai berikut:
a. Keadaan berubah tersebut wajib tergugat memberitahukan kepada ketua PTUN dan penggugat;
b. Dalam waktu 30 hari, penggugat memohon kepada ketua PTUN agar tergugat dibebani bayar ganti rugi atau kompensasi lain yang diinginkan;
c. Diupayakan persetujuan antara kedua belah pihak mengenai sejumlah uang atau kompensasi lain;
d. Penetapan ketua PTUN;
e. Penggugat atau tergugat dapat mengajukannya kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan;
f. Putusan Mahkamah Agung dalam eksekusi ini wajib diataati kedua belah pihak.

B.       PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Diktum putusan Pengadilan yang perlu pelaksanaan lebih lanjut adalah diktum gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yaitu yang menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara dan menetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (8), ayat (9), ayat (10) dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Lebih lanjut Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009  tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :
(1)     Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2)     Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3)     Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.
(4)     Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap Pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)     pejabat yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)     Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan Pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasan.
(7)     Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan. 




Apabila kita simak dengan seksama ketentuan Pasal 116 tersebut, maka menurut Paulus Effendie Lotulung,[4] ada dua jenis eksekusi yang kita kenal dalam Peradilan tata usaha Negara :
1.    Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN (beschikking) yang bersangkutan.
2.    Eksekusi terhadap putusan Pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c, yaitu :
Huruf b             : Pencabutan KTUN (beschikking) yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN (beschikking) yang baru, atau
Huruf c              : Penerbitan KTUN (beschikking) dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.

C.      GANTI RUGI
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Pelaksanaanya pada Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (1), Ganti rugi adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas Beban Tata Usaha Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian materiil yang diderita oleh penggugat.  
Pasal 97 ayat (10) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa “kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi”. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (10) tersebut, dapat diketahui bahwa putusan Pengadilan yang disertai pembebanan ganti rugi tidak hanya terbatas pada putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian yang berisi kewajiaban melaksanakan rehabilitasi saja.
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 terdapat ketentuan tentang Badan Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab atas pembayaran ganti rugi dan anggaran yang dibebani ganti rugi sebagai berikut :
1.        Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Usaha Negara Pusat, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Mengenai tata cara pembayaran ganti rugi ini, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan : “Tata cara pembeyaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
2.        Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti rugi yang menjadi tanggug jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah” .
3.        Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan :” Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Tata Usaha Negara diluar ketentuan ayat (1) dan ayat (2), menjadi beban keuangan yang dikelola oleh Badan itu sendiri.
Di dalam Peraturan pemerintah ini juga ditetapkan besarnya ganti rugi yang dapat diberikan, paling kecil Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling besar Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah). ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-badan Tata Usaha Daerah, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).[5]  





D.      REHABILITASI
Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimna dimaksud dalam ayat (8) menyangkut kepegawaian,maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (11) tersebut, dapat diketahui bahwa putusan Pengadilan yang disertai dengan pemberian rehabilitasi, hanya terbatas pada Putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian saja, artinya putusan Pengadilan yang dijatuhkan hanya terbatas pada putusan Pengadilan terhadap sengketa kepegawaian saja.
Ketentuan tersebut adalah ketentuan khusus dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, karena jika dalam putusan pengadilan disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman salinan putusan Pengadilan tersebut kepada Penggugat dan Tergugat dilakukan dalamwaktu 3 (tiga) hari setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi jika dalam putusan Pengadilan tidak disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman putusan Pengadilan tersebut kepada Penggugat dan Tergugat dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tersebut dapat dimengerti, karena putusan Pengadilan yang disertai pemberian rehabilitasi adalah mempunyai arti yang sangat penting bagi Penggugat.







Apabila dikemudian hari ternyata beban kewajiban melaksanakan rehabilitasi tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna dipenuhi oleh tergugat, maka Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan sebagai berikut :
1.    Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) dan Penggugat;
2.    Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkannya;
3.    Ketua Pengadilan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat.
4.    Apabila setelah diusahakan mecapai persetujuan, tetapi tidak diperoleh kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain, Ketua pengadilan dengan penetapan yang disertai pertimbangan menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.[6]
5.    Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan, baik oleh Penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.[7]
6.    Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib diatati oleh kedua belah pihak.[8]
Contoh kasus rehabilitasi.[9]
Si A seorang Pegawai Negeri Sipil menduduki jabatan sebagai Kepala Bagian Tata Usaha di suatu Instansi. Karena suatu alasan ia dijatuhi hukuman disiplin berat, yaitu pembebasan dari jabatannya sebagai Kepala Bagian Tata Usaha dari atasannya.
Si A tidak merasa puas atas keputusan atasannya. Ia pun menempuh upaya administratif untuk meminta pembebasan keputusan yang bersangkutan. Keputusan yang diperoleh melalui upaya administratif ini ternyata tetap tidak memuaskan sehingga dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Ternyata Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memeriksa sengketa tersebut pada tingkat pertama mengabulkan permohonan si A, dan dengan mewajibkan tergugat (atasan si A) untuk mencabut Keputusan yang disengketakan tersebut dengan disertai pemberian rehabilitasi, yaitu pengembalian si A pada jabatannya semula sebagai Kepala Bagian Tata Usaha. Pada waktu putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata jabatan Kepala Bagian Tata Usaha tersebut telah diisi orang lain, sehingga Tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan rehabilitasi tersebut. Dalam hal ini kemungkinan yang dapat ditempuh adalah :
a.         Menempatkan si A pada jabatan lain yang setingkat dengan Jabatannya semula; atau
b.        Kalau ini juga tidak bisa dilaksanakan, kepada si A diberikan prioritas pertama untuk mengisi lowongan jabatan yang setingkat dengan jabatannya semula; atau
c.         Kalau hal ini juga tidak mungkin dilaksanakan, si A dapat mengajukan permintaan uang pengganti atau kompensasi lain yang diinginkannya.
       

E.  Pengawasan Eksekusi Putusan
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah Ketua Pengadilan.
Yang dimaksud dengan Ketua Pengadilan disini, sudah tentu adalah Ketua Pengadilan yang mengadili sengketa Tata Usaha Negara pada Tingkat Pertama. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika kepada Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dan Pasal 117 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.[10]

















BAB III
SIMPULAN


Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum (R. Subekti).
Putusan yang dapat di eksekusi pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah Putusan hakim Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan atau dilaksanakan.
Tiga macam putusan menurut sifatnya, yaitu:
1.      Putusan Declatoir;
2.      Putusan Constitutif;
3.      Putusan Condemnatoir.
Hanya jenis putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu pebuatan, yang harus dilaksanakan.
Terdapat dua bentuk eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004, yaitu eksekusi sempurna dan eksekusi tidak sempurna.
Besaran ganti rugi  yang dapat diberikan, paling kecil Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling besar Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah). ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada Badan-badan Tata Usaha Daerah, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).  




DAFTAR PUSTAKA


Triwulan, Tutik. dan Ismu Gunadi Widodo. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana.  Cetakan ke-I.
Harahap, Zairin. 1997. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Cetakan ke-I.
R. Wiyono. 2013. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan ke-I.
Rozali Abdullah. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang RI Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang  Nomor 5 RI Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan Tata Usaha Negara.  
   


[1] Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakuktas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm. 12  
[2] R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, cetakan pertama, edisi ketigaa, 2013), hlm. 233. 
[3]Sjachran Basah, hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan administrasi (HAPLA), Cetakan Pertama, penerbit CV Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm. 47.  
[4] Paulus Effendie Lotulung, Eksekusi Putusan PTUN dan Problematikanya dalam Praktik, dalam Machrup Erick (Editor), Kapita Selekta Hukum; Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, Ghalia Indonesia, 1995, hlm. 267-271.     
[5] Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 85. 
[6] Hubungkan dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1991 .
[7] Hubungkan dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.
[8] Hubungkan dengan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.
[9] Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja Grafindo persada, Jakarta, 1996), hlm. 86-87.
[10] R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan Pertama, Edisi ketiga, 2013), hlm. 248.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar