“EKSEKUSI/PELAKSANAAN
PUTUSAN DI PTUN”
disusun
guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Dosen
pengampu :
Novi
Dewi Cahyati, S.Si., S.H., M.H.
Disusun
oleh :
Khabibul
Wakhit 12380087
Husain
Muntaha 12380057
Khakimul
Amin 12380092
Hanny
Sarah 13380005
Muhammad
kidlir 13380008
JURUSAN
MUAMALAT
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015-2016
BAB
I
PENDAHULUAN
Indonesia
memiliki beberapa jenis peradilan yang mempunyai kewenangan yang berbeda,
diantaranya adalah Peradilan Negeri, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Disini peneliti akan membahas lebih jauh tentang
Peradilan Tata Usaha negara dalam Pelaksanaan Putusan atau Eksekusi di Peradilan
Tata Usaha Negara. Pelaksanaan suatu putusan Pengadilan dalam kehidupan
bernegara khususnya negara hukum sangat penting demi menjamin kepastian hukum.
Eksekusi
dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal pelaksanaan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht). Dalam hal memutuskan
putusan, Hakim Peradilan sudah mengetahui duduk perkara yang diselesaikan.
Eksekusi
putusan Pengadilan adalah pelaksanaan putusan Pengadilan oleh atau dengan
bantuan pihak luar dari para pihak. Hal-hal yang berkaitan dengan eksekusi
adalah Pembatalan Surat Keputusan yang
diikuti dengan rehabilitasi, sanksi administratif, dan eksekusi putusan untuk
membayar sejumlah uang (dwangsom).
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Secara etimologis, eksekusi berasal dari bahasa
Belanda yaitu executie, yang berarti pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi
atau pelaksanaan putusan adalah tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap
pihak yang kalah dalam perkara (Irvan Mawardi, 2014:142).
Pengertian eksekusi menurut R. Subekti adalah Eksekusi
atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau
mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan harus dipaksakan
kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.[1]
Peradilan tata Usaha negara adalah eksekusi
administrasi, yaitu sangat tergantung kepada amar putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada
hakikatnya putusan pengadilan yang dapat dieksekusi hanya putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkracht. Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkracht tersebut mengandung
hubungan hukum yang tetap (res judicata) antara kedua belah pihak yang
bersengketa. Konsekuensi dari adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap adalah mengharuskan adanya pelaksanaan proses eksekusi sebagai wujud dari
adanya upaya penegakan hukum.
Dengan demikian, yang dapat dieksekusi hanya putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap saja, yaitu jika:[2]
1.
Penggugat dan
Tergugat telah menyatakan menerima terhadap putusan Pengadilan, padahal
Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk mengajukan permohonan pemeriksaan di
tingkat banding.
2.
Sampai
lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan, Penggugat dan Tergugat tidak
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
Sebagai contoh,
Putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN
Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang
ditetapkan Undang-Undang, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum
tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang
kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Tiga
macam putusan menurut sifatnya, yaitu :
1. Putusan declaratoir (menerangkan atau menegaskan
suatu keadaan hukum);
2. Putusan
constitutif (meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum baru);
3. Putusan
Condemnatoir (berisi penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan
tertentu terhadap pihak);
Hanya
jenis putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah kepada suatu
pihak untuk melakukan suatu perbuatan, yang harus dilaksanakan.
Putusan
yang dikeluarkan pada saat pemeriksaan pokok sengketa dimulai oleh Peradilan
Tata Usaha Negara dalam hal ini dapat menjatukan putusan yang berisi :
1.
Gugatan Ditolak (Bersep Wordt
Verwarpen/Ofoong ongrond)
Apabila
isi putusan Pengadilan TUN adalah berupa penolakan terhadap gugatan penggugat
berarti memperkuat KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang
bersangkutan. Pada umumnya suatu gugatan ditolak oleh majelis hakim, karena
alat-alat bukti yang diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya,
atau alat-alat bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
2.
Gugatan Dikabulkan (Gegrond/ of
Toegewezen).
Suatu
gugatan dikabulkan, adakalanya
pengabulan seluruhnya atau menolak sebagian lainnya. Isi putusan pengadilan yang
mengabulkan gugatan pihak penggugat itu, berarti tidak membenarkan KTUN yang
dikeluarkan oleh pihak tergugat atau tidak membenarkan sikap tidak berbuat
apa-apa yang dilakukan oleh tergugat, padahal itu sudah merupakan kewajibannya
(dalam hal pangkal sengketa berangkat dari pasal 3).
Apabila gugatan dikabulkan, maka hakim
Pengadilan dapat menetapkan kewajiban kepada Badan atau Pejabat TUN selaku
tergugat berupa (Pasal 97 ayat (9) :
1. Membebankan
kewajiban kepada Badan atau pejabat tata usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan tata Usaha Negara itu agar :
a) Mencabut
keputusan Tata Usaha Negara;
b) Disamping
mencanut Keputusan tersebut juga berkewajiban untuk menerbitkan Keputusan baru;
c) Menerbitkan
Keputusan Badan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3;
yaitu karena dalam batas waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang atau setelah
lewat jangka waktu empat bulan. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh penggugat.
2. Di
samping dibebani kewajiban tersebut di atas, hakim masih dapat membebani
kewajiban lain berupa pembebanan ganti kerugian (untuk sengketa yang bukan
sengketa kepegawaian), kompensasi dan
pemberian rehabilitasi untuk sengketa kepegawaian.
3.
Gugatan Tidak Diterima (Niet
ontvankelijk)
Suatu gugatan
oleh hakim akan dinyatakan tidak diterima karena alasan-alasan sebagaimana
dimuat dalam pasal 2, pasal 49 dan atau pasal 56.
Apabila gugatan tidak dapat diterima oleh
hakim, maka gugatan setelah diperbaiki dapat diajukan kembali dalam bentuk
gugatan baru. Timbulnya Putusan Hakim yang demikian antara lain dapat
disebabkan oleh karena Penggugat setelah diberi waktu 30 hari oleh hakim untuk
memperbaiki gugatannya dan melengkapinya dengan fakta-fakta yang diperlukan,
tetapi penggugat tidak atau belum juga memperbaikinya sehingga Hakim menyatakan
gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard)
sebagaimana dimuat dalam pasal 63 ayat (2) dan (3).
Dalam hal ini
hakim diharuskan aktif untuk memeriksa, memperbaiki, dan memerintahkan untuk
melengkapi fakta-fakta yang diperlukan. Apabila hal ini tidak dilakukan oleh
Hakim, maka terhadap tindakan/putusannya yang menyatakan gugatan Penggugat
tidak dapat diterima, bukanlah semata-mata kesalahan penggugat itu sendiri.
4.
Gugatan Gugur.
Putusan
pengadilan yang menyatakan gugatan gugur dalam hal para pihak atau kuasa
hukumnya tidak hadir dalam persidangan pada hari, tanggal, dan jam yang telah
ditentukan– yaitu pada hari sidang pertama dan kedua secara berturut-turut
tanpa ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan dan mereka telah dipanggil
secara patut,[3]
atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh pihak penggugat telah melampaui
tenggang waktu yang ditentukan (daluwarsa).
Ada dua jenis eksekusi menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1955 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yaitu :
1. Eksekusi Sempurna
Eksekusi sempurna adalah eksekusi sebagaimana diatur
dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang pada pokoknya sebagai
berikut :
a.
14 Hari kerja
setelah putusan, harus disampaikan kepada para pihak;
b.
Setelah 60
hari kerja, tergugat tidak melaksanakan isi putusan maka sengketa objek tidak
mempunyai kekutan hukum lagi;
c.
Dalam 90 hari
kerja terbukti tergugat tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada Pasal 97
ayat (9) huruf b dan c, maka penggugat memohon kepada ketua PTUN agar
perintahkan melaksanakan putusan pengadilan;
d.
Dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya
paksa berupa : pembayaran uang paksa, sanksi adiministrasi, dan pengumuman melalui
media massa cetak setempat.
e.
Disamping hal
tersebut di atas, Ketua PTUN harus mengajukan masalah tersebut kepada presiden
agar memerintahkan pejabat/tergugat untuk melaksanakan putusan pengadilan dan
kepada DPR dalam rangka pengawasan.
2.
Eksekusi Tidak
Sempuna
Eksekusi
tidak sempurna adalah eksekusi terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yang sulit dilaksanakan karena sedemikian rupa telah
terdapat keadaan berubah, maka solusinya diatur pada Pasal 117 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, sebagai berikut:
a. Keadaan berubah tersebut wajib tergugat memberitahukan kepada
ketua PTUN dan penggugat;
b. Dalam waktu 30 hari, penggugat memohon kepada ketua PTUN agar tergugat
dibebani bayar ganti rugi atau kompensasi lain yang diinginkan;
c. Diupayakan persetujuan antara kedua belah pihak mengenai sejumlah uang atau kompensasi lain;
d. Penetapan ketua PTUN;
e. Penggugat atau tergugat dapat mengajukannya kepada Mahkamah
Agung untuk ditetapkan;
f. Putusan Mahkamah Agung dalam eksekusi ini wajib diataati kedua
belah pihak.
B. PELAKSANAAN
PUTUSAN PENGADILAN
Diktum
putusan Pengadilan yang perlu pelaksanaan lebih lanjut adalah diktum gugatan
dikabulkan (Pasal 97 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), yaitu
yang menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang
menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara dan menetapkan kewajiban yang harus
dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (8), ayat (9), ayat
(10) dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Lebih
lanjut Pasal
116 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2) Apabila
setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima tergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (9)
huruf a, Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai
kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh)
hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.
(4) Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap Pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5) pejabat
yang tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Di
samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), Ketua Pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan Pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
(7) Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Apabila kita
simak dengan seksama ketentuan Pasal 116 tersebut, maka menurut Paulus Effendie
Lotulung,[4]
ada dua jenis eksekusi yang kita kenal dalam Peradilan tata usaha Negara :
1.
Eksekusi terhadap putusan pengadilan
yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf
a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN (beschikking) yang
bersangkutan.
2.
Eksekusi terhadap putusan Pengadilan
yang berisi kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b
dan c, yaitu :
Huruf
b : Pencabutan KTUN
(beschikking) yang bersangkutan dan menerbitkan KTUN (beschikking) yang baru,
atau
Huruf
c : Penerbitan KTUN
(beschikking) dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
C.
GANTI RUGI
Menurut
Peraturan Pemerintah nomor 43 Tahun 1991 Tentang Ganti Rugi dan Pelaksanaanya
pada Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat (1), Ganti rugi adalah pembayaran
sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas Beban Tata Usaha
Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara karena adanya kerugian
materiil yang diderita oleh penggugat.
Pasal
97 ayat (10) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa “kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi”. Dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (10) tersebut, dapat diketahui
bahwa putusan Pengadilan yang disertai pembebanan ganti rugi tidak hanya
terbatas pada putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian yang berisi
kewajiaban melaksanakan rehabilitasi saja.
Pasal
120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa salinan putusan
Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada
penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 terdapat ketentuan tentang Badan Tata
Usaha Negara yang bertanggung jawab atas pembayaran ganti rugi dan anggaran
yang dibebani ganti rugi sebagai berikut :
1.
Pasal 2 ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti Rugi yang
menjadi tanggung jawab Badan Usaha Negara Pusat, dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”. Mengenai tata cara pembayaran ganti rugi
ini, Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan : “Tata
cara pembeyaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur
lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
2.
Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti rugi yang menjadi
tanggug jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah” .
3.
Pasal 2 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan :” Ganti rugi yang
menjadi tanggung jawab Tata Usaha Negara diluar ketentuan ayat (1) dan ayat
(2), menjadi beban keuangan yang dikelola oleh Badan itu sendiri.
Di
dalam Peraturan pemerintah ini juga ditetapkan besarnya ganti rugi yang dapat
diberikan, paling kecil Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan
paling besar Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah). ganti rugi yang dibebankan
kepada Badan-Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibayar melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada
Badan-badan Tata Usaha Daerah, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).[5]
D.
REHABILITASI
Dalam
hal putusan Pengadilan sebagaimna dimaksud dalam ayat (8) menyangkut
kepegawaian,maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan
ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (11) tersebut, dapat diketahui
bahwa putusan Pengadilan yang disertai dengan pemberian rehabilitasi, hanya
terbatas pada Putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian saja, artinya putusan
Pengadilan yang dijatuhkan hanya terbatas pada putusan Pengadilan terhadap
sengketa kepegawaian saja.
Ketentuan
tersebut adalah ketentuan khusus dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 116
ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, karena jika dalam putusan pengadilan
disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman salinan putusan Pengadilan
tersebut kepada Penggugat dan Tergugat dilakukan dalamwaktu 3 (tiga) hari
setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi jika dalam putusan
Pengadilan tidak disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman putusan
Pengadilan tersebut kepada Penggugat dan Tergugat dapat dilakukan dalam waktu
14 (empat belas) hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tersebut dapat dimengerti, karena putusan Pengadilan yang disertai
pemberian rehabilitasi adalah mempunyai arti yang sangat penting bagi
Penggugat.
Apabila
dikemudian hari ternyata beban kewajiban melaksanakan rehabilitasi tidak dapat
atau tidak dapat dengan sempurna dipenuhi oleh tergugat, maka Pasal 117
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan sebagai berikut :
1.
Sepanjang
mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11) apabila
tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh
berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau
memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) dan Penggugat;
2.
Dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang
telah mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi lain
yang diinginkannya;
3.
Ketua
Pengadilan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya
persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan
kepada tergugat.
4.
Apabila setelah
diusahakan mecapai persetujuan, tetapi tidak diperoleh kata sepakat mengenai
jumlah uang atau kompensasi lain, Ketua pengadilan dengan penetapan yang
disertai pertimbangan menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang
dimaksud.[6]
5.
Penetapan Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan, baik oleh
Penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan kembali.[7]
6.
Putusan
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib diatati oleh kedua
belah pihak.[8]
Contoh kasus rehabilitasi.[9]
Si A seorang Pegawai Negeri Sipil menduduki jabatan sebagai Kepala
Bagian Tata Usaha di suatu Instansi. Karena suatu alasan ia dijatuhi hukuman
disiplin berat, yaitu pembebasan dari jabatannya sebagai Kepala Bagian Tata
Usaha dari atasannya.
Si A tidak merasa puas atas keputusan atasannya. Ia pun menempuh
upaya administratif untuk meminta pembebasan keputusan yang bersangkutan.
Keputusan yang diperoleh melalui upaya administratif ini ternyata tetap tidak
memuaskan sehingga dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara. Ternyata Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memeriksa sengketa
tersebut pada tingkat pertama mengabulkan permohonan si A, dan dengan
mewajibkan tergugat (atasan si A) untuk mencabut Keputusan yang disengketakan
tersebut dengan disertai pemberian rehabilitasi, yaitu pengembalian si A pada
jabatannya semula sebagai Kepala Bagian Tata Usaha. Pada waktu putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata jabatan Kepala Bagian Tata Usaha
tersebut telah diisi orang lain, sehingga Tergugat tidak dapat atau tidak dapat
dengan sempurna melaksanakan rehabilitasi tersebut. Dalam hal ini kemungkinan
yang dapat ditempuh adalah :
a.
Menempatkan si
A pada jabatan lain yang setingkat dengan Jabatannya semula; atau
b.
Kalau ini juga
tidak bisa dilaksanakan, kepada si A diberikan prioritas pertama untuk mengisi
lowongan jabatan yang setingkat dengan jabatannya semula; atau
c.
Kalau hal ini
juga tidak mungkin dilaksanakan, si A dapat mengajukan permintaan uang
pengganti atau kompensasi lain yang diinginkannya.
E.
Pengawasan
Eksekusi Putusan
Dari
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat
diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi eksekusi putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah Ketua Pengadilan.
Yang
dimaksud dengan Ketua Pengadilan disini, sudah tentu adalah Ketua Pengadilan
yang mengadili sengketa Tata Usaha Negara pada Tingkat Pertama. Oleh karena
itu, dapat dimengerti jika kepada Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor
51 Tahun 2009 dan Pasal 117 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.[10]
BAB III
SIMPULAN
Eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti
bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela
sehingga putusan harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum (R.
Subekti).
Putusan yang
dapat di eksekusi pada Peradilan Tata Usaha Negara adalah Putusan hakim
Pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dapat dijalankan atau
dilaksanakan.
Tiga macam
putusan menurut sifatnya, yaitu:
1. Putusan
Declatoir;
2. Putusan
Constitutif;
3. Putusan
Condemnatoir.
Hanya jenis
putusan condemnatoir, yaitu putusan yang mengandung perintah yang mengandung
perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu pebuatan, yang harus
dilaksanakan.
Terdapat dua
bentuk eksekusi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang
Nomor 9 tahun 2004, yaitu eksekusi sempurna dan eksekusi tidak sempurna.
Besaran ganti
rugi yang
dapat diberikan, paling kecil Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
dan paling besar Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah). ganti rugi yang dibebankan
kepada Badan-Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibayar melalui Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), sedangkan ganti rugi yang dibebankan kepada
Badan-badan Tata Usaha Daerah, dibayar melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).
DAFTAR PUSTAKA
Triwulan,
Tutik. dan Ismu Gunadi Widodo. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana. Cetakan ke-I.
Harahap,
Zairin. 1997. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Cetakan ke-I.
R. Wiyono.
2013. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika. Cetakan
ke-I.
Rozali
Abdullah. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Undang-Undang RI
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-Undang RI
Nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 RI Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara
Undang-Undang
RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya
Pada Peradilan Tata Usaha Negara.
[1]
Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakuktas Hukum
Universitas Diponegoro, 2000), hlm. 12
[2]
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika, cetakan pertama, edisi ketigaa, 2013), hlm. 233.
[3]Sjachran
Basah, hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan administrasi (HAPLA),
Cetakan Pertama, penerbit CV Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm. 47.
[4] Paulus
Effendie Lotulung, Eksekusi Putusan PTUN dan Problematikanya dalam Praktik,
dalam Machrup Erick (Editor), Kapita Selekta Hukum; Mengenang Almarhum Prof. H.
Oemar Seno Adji, Ghalia Indonesia, 1995, hlm. 267-271.
[5]
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1996), hlm. 85.
[6]
Hubungkan dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1991 .
[7]
Hubungkan dengan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.
[8]
Hubungkan dengan Pasal 13 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.
[9]
Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja
Grafindo persada, Jakarta, 1996), hlm. 86-87.
[10]
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : Sinar Grafika,
cetakan Pertama, Edisi ketiga, 2013), hlm. 248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar